Definisi BLBI
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kasus BLBI, sebaiknya kita harus mengetahui apa BLBI itu sendiri.
BLBI adalah akronim dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang berarti bantuan yang diberikan atas permintaan bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Bantuan ini diberikan untuk menjaga kestabilan sektor perbankan serta sistim pembayaran nasional agar juangan terganggu oleh ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. (sumber: dari salah seorang menko Ekoin dan dari salah seorang Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia)
GAMBARAN ABSTRAK SKANDAL BLBI
Secara intrinsik, skandal BLBI ialah kewajiban para pengusaha dalam statusnya sebagai obligor mengembalikan uang kepada negara dalam jumlah besar. Ini merupakan rentetan dari penyelamatan negara berhadapan dengan timbulnya rush secara besar-besaran terhadap perbankan nasional pada pertengahan tahun 1997. Penyelamatan oleh negara itu berada dalam kerangka lender of the last resort Bank Indonesia sebagai bank sentral demi menyanggah agar perbankan tak terhempas keruntuhan. Sementara, krisis moneter dan penutupan 16 bank (sesuai ketentuan Letter of Intent IMF) merupakan sebab paling fundamental terjadinya rush. Uang yang kemudian mutlak dikembalikan kepada negara berada dalam kisaran Rp.702,5 triliun. Ketidakberesan pengembalian uang negara inilah yang mencuat sebagai problema ekonomi politik selama kurang lebih satu dekade yang melibatkan tiga pilar demokrasi negara ini, parlemen, pemerintah dan institusi hukum. Dari sinilah benar-benar bergulir persoalan skandal BLBI.
LATAR BELAKANG BLBI
Krisis ekonomi yang mengguncang perekonomian nasional tahun 1997 adalah variable penyebab dikeluarkannya kebijakan BLBI oleh BI. Dengan kata lain, kebijakan BLBI merupakan salah satu kebijakan necessary conditions atas extra ordinary situation yang terjadi akibat krisis moneter 1997, agar perekonomian tidak hancur lebih dalam lagi. BLBI diberikan oleh BI selaku lender of the last resort berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 1968. Kebijakan BLBI juga tidak terlepas dari peran IMF pada masa itu, dimana IMF menginstruksikan kepada pemerintah untuk menghentikan rush dengan cara menginjeksi dana BLBI sebesar Rp 144 triliun kepada 48 bank yang mengalami kekurangan llikuiditas. Namun yang terjadi, dana BLBI tersebut malah diselewengkan dan disalah gunakan baik oleh si penyalur dan penerima BLBI, yang jelas merupakan tindak pidana sebagaimana diungkapkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporannya tahun 2000. Pengucuran BLBI dimaksudkan untuk memberikan bantuan likuiditas pada saat bank mengalami saldo debet. Apabila saldo debet tersebut tidak ditutup, bank-bank yang terkena akan “kalah kliring”. Dampak lanjutannya adalah likuidasi, khususnya apabila pemegang saham tidak mampu menyuntikkan likuiditas baru. Resiko yang dihadapi BI dan pemerintah, yaitu penutupan bank yang akan diikuti rush dari para penabung.
Atas dasar hukum itulah Bank Indonesia melaksanakan penyaluran BLBI kepada perbankan nasional. Total BLBI yang dikucurkan hingga program penyehatan perbankan nasional selesai mencapai Rp 144,5 triliun, dana tersalur ke 48 bank. Ke 48 bank itupun dibedakan atas kategori 10 Bank Beku Operasi (BBO) sebesar dengan total BLBI mencapai Rp 57,7 triliun , 5 Bank Take Over (BTO) sebesar Rp 57,6 triliun, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sebesar Rp 17,3 triliun, dan 15 bank Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp 11,9 triliun. (memotret perjalanan kasus BLBI oleh:Achmad Aris (my blog))
KRONOLOGIS KASUS BLBI
Berikut ini adalah kronologis kasus BLBI yang bersumber dari infoblbi.com
11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8%) menjadi 304 (12%), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan yang ketat.
14 Agustus 1997
Pemerintah melepas system kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panic, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto.Hasil pertemuan : pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang “sakit” akan demerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
1 November 1997
16 bank dilikuidasi.
26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedrajat Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang trus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedrajat mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) khusus.
27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang ditutup dan dinyatakan bangkrut.
31 Desember 1997
Keran uang Bank Indonesia mulai dibuka, dan mengucurlah aliran dana besar-besaran ke bank-bank yang saat itu mengalami masalah .
15 Januari 1998
Penandatanganan Letter of Intent. Dalam LOI, pemerintah mendapat pembenaran untuk memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang sekarat karena krisis ekonomi.
26 Januari 1998
Pemerintah mengeluarkan Keppres No.26/1998 tentang program penjaminan.
27 Januari 1998
BPPN didirikan dan tugas penagihan utang BLBI dialihkan ke BPPN.
11 Februari 1998
Gubernur BI Soedrajad Djiwandono diganti oleh Syahril Sabirin. Salah satu direktur BI, Budiono juga dicopot.
20 Februari 1998
Presiden Soeharto menyetujui pengembalian dana nasabah 16 bank yang dicabut izin usahanya, 1 November 1997.
5 Maret 1998
Pemerintah mengeluarkan keppres No 34 Tahun 1998 tentang tugas dan wewenang BPPN.
2 April 1998
Pemerintah mengumumkan akan mencetak Rp 80 triliun uang baru sebagai pengganti dana BI yang dikucurkan ke bank-bank yang dialihkan ke BPPN.
4 April 1998
Pemerintah membeku operasikan (BBO) 7 Bank dan mengambil alih 7 bank (BTO). Ini dikenal sebagai likuidasi tahap II.
10 April 1998
Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998.
Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
21 Agustus 1998
Pemerintah memberiakan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
21 September 1998
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administrative pun tak terdengar.
26 September 1998
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.
27 September 1998
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.
18 Oktober 1998
Hubert Neiss (Direktur IMF Kawasan Asia Pasifik) melayangkan surat keberatan. Dia minta perlunasan lima tahun.
10 November 1998
Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 %, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah uang yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO (bank take over) dan BBO(bank beku operasi) saat itu adalah Rp 111,29 triliun.
8 Januari 1999
Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
6 Februari 1999
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun.
8 Februari 1999
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.
13 Maret 1999
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank.
Februari 1999
DPR-RI membentuk Panja BLBI.
19 Februari 1999
Ketua BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian Negara sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
13 Maret 1999
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank.
14 Maret 1999
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah.
17 Mei 1999
UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapapun.
1 September-7 Desember 1999
BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.
28 Desember 1999
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.
Desember 1999
BPK telah menyelesaikan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaanya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
5 Januari 2000
Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November 1997-Januari 1998.
10 Januari 2000
Bocoran hasil audit KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler) yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.
29 Januari 2000
Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp 144,54 triliun berpotensi merugikan Negara karena sulit dipertanggung jawabkan. Tersangka dalam kasus cessie Bank Bali.
21 Juni 2000
Gubernur BI Syahril Sabirin, ditahan kejaksaan agung dengan status sebagai tersangka.
Juli 2000
Menko Ekuin Kwik Kian Gie ingin merevisi MSAA, tapi ketua BPPN Cacuk Sudarijanto menyatakan MSSA tetap berlaku.
22 Juli 2000
Hasil audit BPKP menunjukkan, dari total BLBI(posisi per 31 Januari 2000) sebesar Rp 106 triliun, Rp 54,5 triliun diselewengkan. Jumlah ini diberikan kepada 10 BBO dan 32 BBKU yang menjadi objek audit BPKP.
31 Juli 2000
LoI ketiga ditandatanngani. BPPN diharuskan mengambil tindakan hukum terhadap semua obligor, termasuk penandatanganan surat penyelesaian hutang MSSA (Master Settlement for Acquisition Agreement) yang tidak menaati pengembalian BLBI.
1 Agustus 2000
Presiden Abdurahman menyetujui revisi MSSA, sehingga debitor tetap dapat dituntut bila asset yang mereka serahkan jauh dibawah jumlah hutangnya.
Agustus 2000
Kepala BPPN hanya menargetkan utang BLBI sebesar 30-40 %.
5 Agustus 2000
Giliran BPK mengumumkan hasil audit menyeluruh BLBI : dari Rp 144,5 triliun BLBI, potensi kerugian Negara Rp138,4 triliun; dan dari 48 bank penerima, ada penyelewengan penggunaanya sebesar Rp 84,8 triliun, yang dapat dipertnaggungjawabkan hanya Rp 34,7 triliun (25%).
September 2000
Deputi Gubernur BI, Burhanudin Abdullah, menolak hasil audit BPK. Katanya potensi kerugian Negara dari BLBI yang besarnya Rp 138 triliun tidak proporsional. Lagi puls, dana itu keluar karena kebijakan presiden untuk menolong bank-bank yang sekarat.
9 Oktober 2000
Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI hanya sebesar Rp 24,5 triliun. Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK.
26 Oktober 2000
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.
1 November 2000
DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan.
Awal November 2000
Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya.
2 November 2000
BPK mengancam BI akan memnberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.
17 November 2000
Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharudin Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok kesepakatan bersama diantara pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban pemerintah.
3 Januari 2001
Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan ketrlibatan mereka dalam penyalahgunakan dana BLBI.
7 Maret 2001
DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI. Pembentukan Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5 miliar.
10 Maret 2001
Pemilik BUN Kaharudin Ongko ditahan kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
22 Maret 2001
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
9 April 2001
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang berstatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun Hartono (Bank Modern) juga dicekal.
29 Maret 2001
Kejagung mencekal mantan ketua tim Likuidasi Bank Industri (Jusup Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).
2 April 2001
Pelaksanaan program penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001.
30 April 2001
Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan dana BLBI. Selain itu, kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun.
2 Mei 2001
Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun Hartono dan Kaharudin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.
19 Juni 2001
Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan Negara sebesar Rp 538,4 miliar.
21 Juni 2001
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat kejagung.
24 Januari 2002
Gubernur BI Syahrir Sabirin mengeluarkan SK No 4/1/KEP.GBI/INTERN/2002 tentang pembentukan satuan Tugas Penyelesaian BLBI. Satgas ini bertugas mengkordinasikan penyelesaian BLBI dan memberikan rekomendasi penyelesaian BLBI yang mencakup bidang keuangan, bidang hukum dan bidang citra. Satgas ini diketuai oleh M Ali Sai, sedangkan Rusli Simandjuntak menjadi ketua I. Satgas dikordinasikan oleh Direktorat Keuangan Intern BI yang dijabat Bun Bunan Hutapea.
31 Mei 2002
Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam MSSA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi merugikan BPPN.
11 Januari 2007
Dua petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setyawan) menjalani pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-mesin di perusahaan gula Sugar Grup.
19 Februari 2007
Menkeu Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda.
18 September 2007
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak interpelasi mengenai BLBI kepada pimpinan DPR.
4 Desember 2007
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 penyusul.
21 Januari 2008
Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI” memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius hendak mengungkapkan kasus BLBI.
28 Januari 2008
DPR-RI Secara resmi mengirimkan surat kepada presiden RI agar memberikan keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas penyelesaisn KLBI dan BLBI.
29 Januari 2008
Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI.
12 Februari 2008
Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang.
29 Februari 2008
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Syamsul Nursalim, menurut Kemas, sesuai dengan surat penyelesaian utang MSAA, kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah.
2 Maret 2008
Penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan selaku ketua Tim BLBI II oleh KPK atas tuduhan uang suap terkait dengan kasus BLBI.
8 Maret 2008
Guru Besar Hukum Pidan Internasional Unpad Bandung, Romli Atsasmita, mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurutnya kasus BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu ada unsur penipuan di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangnya.
10 Maret 2008
Usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hukum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir anti klimaks. Kejagung menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu.
13 Maret 2008
Penyerahan hasil angket yang telah ditandatangani oleh sebanyak 55 anggota DPR sebagai bentuk dukungannya.
6 Mei 2008
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan kejaksaan agung atas Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung lasngsung menyatakan banding.
Dari serangkaian kronologis tersebut dapat diketahui bahwa penyelesaian BLBI yang berlarut-larut dan hingga saat ini belum juga ada penyelesaiannya, apalagi cukup banyak pihak-pihak pmerintahan yang terlibat dalam kasus ini, sehingga untuk penyelesaiannya masih akan butuh proses dan waktu yang cukup panjang.
Penerima Terbesar BLBI
NAMA BANK PENERIMA | JUMLAH POKOK |
1.BDNI/Sjamsul Nursalim | Rp. 37,040 Triliun |
2. BCA/Soedono Salim | Rp. 26,596 Triliun |
3. DANAMON/Usman Atmadjaja | Rp. 23,050 Triliun |
4. BUN/Bob Hasan | Rp. 12,068 milyar |
5. BIRA/Bambang Winarso | Rp.4.018 milyar |
6.BHS/Hendra Rahardja | Rp. 3.866 milyar |
(Sumber BI dan BPK)
POTENSI KERUGIAN NEGARA
Dana BLBI yang sebenarnya bertujuan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan supaya tidak terganggu, karena tidak seimbangnya antara penerimaan dan penariakan dana pada bank-bank nasional, namun ternyata justru diselewengkan oleh para obligor penerima BLBI. Fakta ini bisadilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun atau 95,78% dari total BLBI yang disalurkan pada tanggal 29 Januari 1999 dinyatakan berpotensi merugikan negara. Selain itu, skandal ini melibatkan sedikitnya 36 kolongmerat, dan puluhan pemilik bank serta diraksi bank-bank nasional yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, karena menyalahgunakan dana BLBI. Belum lagi dana Rp 84,8 triliun BLBI juga diselewengkan penerimanya.
TEMUAN PENYIMPANGAN DALAM PENYALURAN DAN PENGGUNAAN DANA BLBI
Temuan Audit Investigasi | BLBI yang disalurkan | Potensi Kerugian Negara/Penyimpangan (Rp. Juta) | % |
A. Penyaluran BLBI oleh BI | 144.536.086 | 138.442.026 | 95.78 |
1. Saldo debet | 18.163.169 | 18.163.169 | 100 |
2. FSBUK | 28.231.481 | 28.231.481 | 100 |
3. Fasilitas Saldo Debet | 54.460.895 | 54.460.895 | 100 |
4. New Fasdis | 28.530.968 | 28.530.968 | 100 |
5. Dana talangan Rp. | 5.335.003 | 142.903 | 2.68 |
6. Dana talangan valas | 9.814.570 | 8.912.610 | 80 |
B. Penggunaan BLBI oleh bank penerima | 144.536.086 | 84.842.162 | 58.70 |
Sumber: Laporan Audit BPK No. 06/01/Auditama II/AI/VII/2000
Pada prinsipnya, BLBI hanya boleh dipergunakan untuk membayar dana nasabah. Dari total penerimaan BLBI pada 48 bank, yaitu senilai Rp. 144,53 triliun, telah ditemukan berbagai pelanggaran, penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan BPK mencapai nilai Rp. 84,84 triliun atau 59,7% dari keseluruhan BLBI (per 29 Januari 1999). Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Adapun bentuk perbedaan hasil temuan BPK dan BPKP tersebut adalah :
No | Bentuk Penyimpangan | Jumlah (Rp. Juta) |
1 | BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjaman atau pinjaman subordinasi | 46.088 |
2 | Untukmembayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannyaberdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis. | 113.812 |
3 | Untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait. | 18.505.140 |
4 | Untuk transaksi surat berharga. | 136.902 |
5 | Untukmembayar/melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan. | 4.469.316 |
6 | Untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiankarena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/cut loss. | 22.363.682 |
7 | Untuk membiayai placement baru di PUAB. | 9.822.383 |
8 | Untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikankelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada. | 15.812.953 |
9 | Untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap,pembukaan cabang baru, rekrutmen personel baru,peluncuran produk baru, penggantian sistem baru. | 456.357 |
10 | Untuk membiayai over head bank umum | 87.144 |
11 | Untuk membiayai lain-lain yang tidak termasuk butir 1– 10 di atas. | 10.028.324 |
JUMLAH | 84.842.162 |
Sumber: Laporan Audit BPK No. 06/01/Auditama II/AI/VII/2000
Temuan BPKP Atas
Penyimpangan Dana BLBI
Penyimpangan Dana BLBI
No | Bentuk Penyimpangan | Jumlah (Rp) |
1 | Digunakan pembayaran pinjaman subordinasi sebelum tahun 1997 | 38.157.938.609 |
2 | Membayar kewajiban Bank Umum yang tidak dapat dibuktikan | 426.471.468.241 |
3 | Membayar kewajiban pada grup terkait | 8.988.612.841.276 |
4 | Membayar transaksi surat berharga | 2.814.736.215 |
5 | Membayar pihak ketiga melanggar ketentuan | 7.699.278.854.519 |
6 | Membayar kontrak derivatif baru/kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo | 10.320.358.493.758 |
7 | Penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau pelunasannya yang tidak sesuai ketentuan | 6.395.332.928.752 |
8 | Ekspansi kredit merealisasikan kelonggaran tarif | 9.960.036.688.968 |
9 | Biaya investasi rekrutmen personalia dll | 71.477.954.609 |
10 | Membiayai over head Bank | 133.394.546.396 |
11 | Biaya lain yang menyimpang | 10.525.925.309.187 |
JUMLAH | 54.561.861.760.528 |
Sumber: Bank Indonesia, Mengurai
Benang Kusut BLBI, cet.pertama, Lampiran
Benang Kusut BLBI, cet.pertama, Lampiran
Dari 48 bank penerima BLBI terdapat lima bank yang melakukan penyimpangan terbesar yang mencapai 74 % dari total penyimpangan 48 bank penerima BLBI. 5 Bank yang melakukan penyimpangan terbesar itu adalah sebagai berikut. Kelima bank tersebut adalah :
No | Nama Bank | Nilai Penyimpangan | % | Pemilik |
1 | Bank Dagang Nasional Indonesia | 24,47 triliun | 28,84 | Sjamsul Nursalim |
2 | Bank Central Asia (BCA | 15,82 triliun | 18,64 | Soedono Salim |
3 | Bank Danamon | 13,8 triliun | 16,27 | Usman Admadjaja |
4 | Bank Umum Nasional (BUN) | 5,09 triliun | 6,00 | Bob Hasan |
5 | Bank Indonesia Raya (BIRA) | 3,66 triliun | 4,31 | Atang Latief |
Sumber: Laporan Audit BPK No. 06/01/Auditama II/AI/VII/2000
PENYELESAIAN BLBI
Dalam perjalanan proses penyelesaian kasus BLBI ini pemerintah era Habibie membentuk BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional
) untuk menyelesaikan kasus BLBI. BPPN menempuh beberapa mekanisme yang bertujuan untuk mengembalikan asset Negara yang telah dibawa kabur oleh para obligor BLBI dimana dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari para pemegang saham bank penerima BLBI (skema PKPS). Perjanjian tersebut berupa :
) untuk menyelesaikan kasus BLBI. BPPN menempuh beberapa mekanisme yang bertujuan untuk mengembalikan asset Negara yang telah dibawa kabur oleh para obligor BLBI dimana dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari para pemegang saham bank penerima BLBI (skema PKPS). Perjanjian tersebut berupa :
- Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang
saham pengendali. Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreement (MSSA), pola ini dan master refinancing agreement and note agreement (MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan BLBI baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN. - Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO)
menjadi penyertaan modal sementara (PMS).
- Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali,
melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU).
Kebijakan pemerintah pada masa megawati dalam penyelesaian
kasus BLBI adalah mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang (Release and Dischage)Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres yang dikeluarkan tanggal 30 Desember 2002 menginstruksikan kepada Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite
kasus BLBI adalah mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang (Release and Dischage)Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres yang dikeluarkan tanggal 30 Desember 2002 menginstruksikan kepada Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite
Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, Para Menteri anggota KKSK, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian RI dan
Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU. Para obligor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya dan mendapatkan Surat Keterangan Lunas walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70
persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini,
para obligor yang diperiksa dalam proses penyidikan maka akan dikeluarkan SP 3
dan apabila perkaranya dalam proses di pengadilan maka akan dijadikan novum
atau bukti baru yang akan membebaskan mereka. Hingga berakhirnya BPPN tahun 2004, dari 39 pemegang saham penandatangan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), 23 pemegang saham telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara itu 16 pemegang saham lainnya, terdiri dari delapan pemegang saham tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah dan delapan pemegang saham lainnya dinyatakan tidak kooperatif dan penanganannya akan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Akibatnya Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge, Kejaksaan menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap sedikitnya 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004. Alasan
kejaksaan menghentikan penyidikan karena para tersangka telah mendapat Surat
Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN. Penghentian penyidikan dalam kasus korupsi BLBI ini pada akhirnya memperpanjang jumlah SP3 yang telah diberikan pihak kejaksaan dan secara eksplisit membebasakan tuntutan hukum secara pidana kepada para obligor BLBI sehingga bebas dari ancaman hukuman penjara.
Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU. Para obligor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya dan mendapatkan Surat Keterangan Lunas walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70
persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini,
para obligor yang diperiksa dalam proses penyidikan maka akan dikeluarkan SP 3
dan apabila perkaranya dalam proses di pengadilan maka akan dijadikan novum
atau bukti baru yang akan membebaskan mereka. Hingga berakhirnya BPPN tahun 2004, dari 39 pemegang saham penandatangan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), 23 pemegang saham telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara itu 16 pemegang saham lainnya, terdiri dari delapan pemegang saham tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah dan delapan pemegang saham lainnya dinyatakan tidak kooperatif dan penanganannya akan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Akibatnya Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge, Kejaksaan menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap sedikitnya 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004. Alasan
kejaksaan menghentikan penyidikan karena para tersangka telah mendapat Surat
Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN. Penghentian penyidikan dalam kasus korupsi BLBI ini pada akhirnya memperpanjang jumlah SP3 yang telah diberikan pihak kejaksaan dan secara eksplisit membebasakan tuntutan hukum secara pidana kepada para obligor BLBI sehingga bebas dari ancaman hukuman penjara.
Di era SBY mekanisme penyelesaian masih menggunakan
prinsip release and discharge dimana lebih memprioritaskan pengembalian asset ketimbang penegakan hukum. Ironisnya lagi, pemerintah SBY memberikan
perlakuan yang berlebihan dengan “menggelar karpet merah” kepada 3 obligor BLBI yaitu Atang Latief, James Januardy, dan Ulung Bursa datang ke Istana Negara untuk merundingkan pola penyelesaian hutangnya. Perlakuan yang seharusnya tidak layak di berikan oleh seorang kepala Negara kepada para koruptor kelas kakap yang telah merugikan Negara miliaran rupiah. Meskipun demikian, ada sedikit kemajuan dalam proses penanganan kasus BLBI di era SBY ini dimana sejak di
lantiknya Jaksa Agung baru Hendarman Supandji menggantikan Abdurrahman Saleh, Kejaksaan Agung menunjukkan keseriusannya dimana dengan membentuk tim pemburu koruptor dan upaya menjalin kerjasama ekstradisi dengan Australia serta terus melakukan proses penyidikan salah satunya dengan memanggil kwik kian gie dan beberapa mantan penjabat lainnya yang in charge semasa pengucuran dana BLBI.
prinsip release and discharge dimana lebih memprioritaskan pengembalian asset ketimbang penegakan hukum. Ironisnya lagi, pemerintah SBY memberikan
perlakuan yang berlebihan dengan “menggelar karpet merah” kepada 3 obligor BLBI yaitu Atang Latief, James Januardy, dan Ulung Bursa datang ke Istana Negara untuk merundingkan pola penyelesaian hutangnya. Perlakuan yang seharusnya tidak layak di berikan oleh seorang kepala Negara kepada para koruptor kelas kakap yang telah merugikan Negara miliaran rupiah. Meskipun demikian, ada sedikit kemajuan dalam proses penanganan kasus BLBI di era SBY ini dimana sejak di
lantiknya Jaksa Agung baru Hendarman Supandji menggantikan Abdurrahman Saleh, Kejaksaan Agung menunjukkan keseriusannya dimana dengan membentuk tim pemburu koruptor dan upaya menjalin kerjasama ekstradisi dengan Australia serta terus melakukan proses penyidikan salah satunya dengan memanggil kwik kian gie dan beberapa mantan penjabat lainnya yang in charge semasa pengucuran dana BLBI.
PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya benar-benar berkomitmen untuk menyelesaikan kasus BLBI yang terus berlarut-larut hingga kini. Dari proses penanganan kasus BLBI oleh pemerintah mulai dari pemerintahan Habibie hingga pemerintahan SBY memperlihatkan adanya pelaksanaan penegakan hukum yang diskiriminatif dan dalam kasus BLBI ini pemerintah lebih memprioritaskan pengembalian asset Negara yang telah di bawa lari ke timbang melakukan penegakan hukum terhadap para koruptor tersebut.
Pemerintah beralasan bahwa untuk menghindari kerugian negara yang
semakin besar dengan berlarut-larutnya penyelesaian kasus BLBI sehingga
pemerintah lebih mengutamakan untuk mendapatkan pengembalian utang dari para konglomerat menunjukkan bahwa dalam penyelesaian kasus BLBI ini, pemerintah lebih memilih untuk menggunakan pendekatan keperdataan daripada
menyelesaikannya melalui proses pidana, yang pada akhirnya telah mengabaikan
prinsip hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat serta mengaburkan pengertian
“demi kepentingan hukum” sebagai suatu alasan untuk menghentikan penuntutan. Padahal tujuan hukum pidana adalah untuk menjerakan para pelaku dan mencegah tindak pidana serupa terulang atau terjadi.
semakin besar dengan berlarut-larutnya penyelesaian kasus BLBI sehingga
pemerintah lebih mengutamakan untuk mendapatkan pengembalian utang dari para konglomerat menunjukkan bahwa dalam penyelesaian kasus BLBI ini, pemerintah lebih memilih untuk menggunakan pendekatan keperdataan daripada
menyelesaikannya melalui proses pidana, yang pada akhirnya telah mengabaikan
prinsip hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat serta mengaburkan pengertian
“demi kepentingan hukum” sebagai suatu alasan untuk menghentikan penuntutan. Padahal tujuan hukum pidana adalah untuk menjerakan para pelaku dan mencegah tindak pidana serupa terulang atau terjadi.
Hal ini benar-benar sangat miris dengan keadaan sekarang ini, apalagi pemerintah sedang bergiat menegakkan slogan “tegakkan hukum, tanpa pandang bulu”. Tapi pada kenyataannya tetap mereka yang punya kekuasaan merajalela, contoh paling nyata saja beberapa waktu yang lalu seorang nenek ditahan hanya karena mencuri sebuah biji coklat, sedangkan para koruptor yang memakan uang rakyat tetap mendapat tempat yang terhormat.
Oleh karena itu seharusnya pemerintah benar-benar mengambil langkah konkrit dalam menyelesaikan kasus BLBI, serta mengambil tindakan yang cukup tegas terhadap obligor, dengan kata lain tidak cukup mengandalakan pendekatan politik, yang mengabaikan prinsip-prinsip penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Wijaya, Faried & Hadiwigeno, Soetatwo 1980, Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta
Sardjono, Iswandono 1981, Uang dan Bank, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta
http://bcwbanten.blogspot.com/2008/02/skandal-blbi.html
2 komentar:
Untuk yang lagi galau, yang lagi bosan tidak tahu mau ngapain,
tenang,,sekarang ada yang akan menghibur kalian sekaligus
mengisi hari-hari kalian dengan games" online yang pastinya tidak akan
mengecewakan kalian deh...
yuk ikutan gabung bersama Pesonasaya.com
Dapatkan Bonus Rollingan TO Sebesar 0,3 - 0.5% / Hari
Bonus Referral Sebesar 20% Seumur Hidup
* Minimal deposit hanya Rp 20.000
* Minimal tarik dana Rp 20.000
* Dilayani oleh CS profesional dan ramah
* 24 jam online
* Proses Depo & WD super cepat
* No ROBOT MURNI PLAYER VS PLAYER
* kamu berkesempatan menangkan Jackpot setiap harinya.
Info lebih lanjut silahkan hubungi CS 24 Online Setiap hari melalui :
* PIN BBM : 7A996166
* WA : +85511817618
Salam Sukses Pesonaqq.com
INGIN CEPAT JADI JUTAWAN YUK MARI GABUNG SEKARANG JUGA
KharismaPokerMenjadiSitusBandarQOnlineTerprcayaIndonesia
Promo yang diberikan :
Minimal DP dan WD Rp. 20.000.
Support bank lokal : BCA, BNI, BRI, MANDIRI, dan DANAMON.
Bisa dimainkan di iPhone, Android, PC / Laptop.
Online 24 jam setiap hari meskipun hari libur nasional.
Memiliki link alternatif : KharismaPoker.net.
CS nya banyak , jadi pelayanannya cepat.
Bonus REFERRAL 20% setiap minggunya.
Bonus CASHBACK 0,5% setiap minggunya.
Contact resmi kharismaPoker :
Telp :+85588278896
BBM;dc7cdd80
Posting Komentar